Thursday 29 December 2011

Sphingomyelin dan Makanan

Dalam berbagai laporan ilmiah, disebutkan bahwa kandungan Sphingomyelin dalam Air Susu Ibu (ASI) adalah 29% dari total fosfolipid dalam ASI. Jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan susu sapi yang hanya 24%. Dalam suatu review yang dilakukan oleh Vesper et al. (1999), produk hewani relatif mengandung sphingolipid lebih banyak dibandingkan produk nabati. Pengecualian untuk kedelai, ternyata memiliki kandungan sphingolipid yang cukup tinggi.

Masih dalam review tersebut, sphingomyelin dari makanan ternyata sedikit dihidrolisis pada bagian lambung dan utamanya dibagian usus halus dan kolon. Namun demikian, tidak semua dari sphingolipid, termasuk sphingomyelin di dalamnya, yang dicerna tersebut dapat terserap oleh tubuh, sekitar 10% tidak terserap dan dikeluarkan melalui usus besar (kolon).

Karena sphingolipid masih tergolong kelompok lipid, maka proses pengangkutan dan distribusinya mengikuti pola distribusi lemak, artinya setelah diurai menjadi metabolit penyusunnya, lalu sebagian ada yang digabungkan kembali dalam molekul sphingolipid. Bersama-sama dengan komponen lipid lainnya, semua dikumpulkan sebagai kilomikron dan selanjutnya didistribusikan kepada jaringan yang membutuhkan. Bahkan diketahui bahwa sphingomyelin sendiri banyak terdapat pada kolesterol LDL (low density lipoprotein) dan kolesterol HDL (high density lipoprotein).

Dalam suatu studi ilmiah menggunakan hewan percobaan yang dilakukan oleh Oshida dkk. (2003) dilaporkan bahwa bila aktivitas enzim yang berperan mensintesis sphingomyelin terhambat, maka proses penyelimutan (myelinasi) sel saraf juga akan terhambat. Sebaliknya, dengan penambahan asupan sphingomyelin, maka proses myelinasi yang terhambat tersebut akan kembali diaktifkan. Kondisi gizi rendah menjadi salah satu faktor terhambatnya aktivitas enzim pembentuk sphingomyelin tersebut.

Melihat fungsi dan peran sphingomyelin tersebut, nampak bahwa substansi ini memiliki peran yang penting seperti halnya AA dan DHA. AA, DHA dan sphingomyelin bukan bersifat saling menggantikan tetapi saling mendukung dalam pembentukan dan fungsi kerja sel saraf yang optimal.

Referensi:

1. Vesper et al. 1999. Sphingolipids in food and the emerging importance of sphingolipids to nutrition. J Nutr 129:1239-1250.
2. Oshida et al. 2003. Effect of dietary sphingomyelin on central nervous system myelination in dveloping rats. Pediatric Res 53:589-593.

No comments: