Saturday, 18 August 2007

Masa Kegelapan Pascamelahirkan

Aruni, anak pertama Melati (29), sudah berusia satu tahun. Namun Melati
masih sering merasa bayi itu tiba-tiba terlepas dari pelukannya saat
Melati berdiri di ketinggian. Padahal dia tidak sedang menggendongnya.
Namun Melati merasa bayangan itu adalah kenyataan. Kalau perasaan itu
datang, keringat dinginnya mengalir. Tak mudah bagi Melati menghilangkan
bayangan mengerikan itu meski hal mengerikan lainnya sudah ia lewati.

"Waktu Aruni masih lebih kecil, saya sering membayangkan ada pisau
menancap di perutnya," ujar Melati. Bayangan tentang pisau yang menancap di
perut sebenarnya sudah mulai mengganggu ketika usia kandungannya
semakin tua. Perasaan tidak menentu menyertai Melati seusai kelahiran Aruni.
Yang dominan, rasa ingin marah terus. "Saya kasihan pada suami karena
ia sudah berusaha keras untuk membantu, termasuk bangun malam. Tapi
sedikit saja kekeliruan bisa membuat saya meledak," kenang Melati.

Tak jarang Melati merasakan banyak kekhawatiran; khawatir tak bisa
menjadi ibu yang baik dan lain-lain. Juga rasa sedih yang tak tentu sebab.
Kadang ia merasa berada di padang luas tanpa batas. Sendirian. Sunyi.
Perasaan kosong yang teramat dalam, yang tak pernah bisa ia bagi kepada
siapa pun. Meski tidak separah Melati, Sally Dwi Anda (35) merasakan
sebagian hal yang sama. Seminggu setelah melahirkan, Sally mengalami rasa
sedih berlebihan.

Padahal orang-orang terdekatnya, seperti orangtua dan suami, sangat
mendukungnya. Setiap malam, Guirino, sang suami, ikut mengganti popok
anaknya yang basah. "Gue bangun tinggal kasih susu ke Sheila saja,"
ujarnya. Banyak perempuan mengalami perasaan berubah-ubah secara ekstrem (mood
swings) pascamelahirkan. Semua perempuan berpotensi mengalaminya,
termasuk aktivis yang tercerahkan dengan suami yang sungguh-sungguh sangat
mendukung.

"Waktu melahirkan Bram, sampai usia enam-tujuh bulan, saya punya
perasaan aneh. Pada suami saya, saya sering bilang, ’Benda apa sih ini yang
bisanya nangis, kencing, dan pup.’ Padahal suami saya yang mengurus
bayi itu, bahkan suami yang menyodorkan bayi itu untuk saya susui,"
kenang Ranti (43) saat melahirkan anak pertamanya, Bram, kini 19 tahun dan
sudah kuliah.

Ririe (32) mengalami hal sama. Setelah melahirkan, ia merasa semua
beban keluarga ditimpakan kepadanya. Kesedihan yang luar biasa sering ia
rasakan, terutama kala menatap anaknya yang sedang tidur. Muncul perasaan
ia tidak mampu memberikan yang terbaik untuk Rheesa (enam bulan).

Beban psikologis itu terasa semakin berat ketika Paskalis, suami Ririe,
tidak banyak membantu setelah Ririe melahirkan. Berbeda dengan suami
Melati, Sally, dan Ranti, suami Ririe tertidur pulas ketika Ririe bangun
tengah malam untuk mengganti popok anaknya. Padahal sebelumnya ia
berharap sang suami bisa membantu karena jam kantornya siang. Pagi hari,
suaminya juga tidak mau membawa anaknya jalan-jalan atau berjemur
mendapatkan sinar matahari. "Setelah ngomel, suami saya baru mau," lanjut
Ririe.

Kalau perasaan negatif itu datang, Ririe mengaku sering menangis
tersedu-sedu di depan anaknya yang tertidur pulas. Dengan menangis, Ririe
memeluk anaknya sambil minta maaf. Selama lebih tiga bulan Ririe mengalami
gejolak emosi yang sangat tidak stabil. Terkadang ia merasa bahagia
dianugerahi seorang anak, lalu muncul kesedihan yang luar biasa. Ia juga
merasa kebebasan dan privasinya sangat berkurang karena waktunya habis
untuk mengurus anak.

Padahal, selama masa kehamilan, Ririe sudah mempersiapkan secara matang
perawatan anak pertamanya yang akan lahir. Ia membaca semua buku
menjelang kelahiran anak pertamanya itu. Ririe yang tinggal jauh dari mertua
dan orangtua merasa sudah siap mental untuk mengasuh dan merawat bayi.

Namun perkiraannya meleset. Setelah melahirkan, secara teknis Ririe
memang tidak canggung lagi merawat dan mengasuh anaknya. Akan tetapi tidak
secara psikologis. Petunjuk "ilmu" yang ia pelajari dari buku ternyata
tidak mendapat dukungan dari lingkungan terdekatnya. Pengasuh bayi yang
ikut merawat Rheesa tidak mau mendengarkan saran-saran Ririe. "Padahal
aku ingin agar Rheesa mendapatkan perawatan yang sempurna," ungkap
Ririe. Ia pun menjadi lebih sering ngomel.

Pencetusnya beragam
Kondisi psikologis Melati, Sally, dan Ririe seusai melahirkan
memperlihatkan bahwa proses melahirkan tidak sederhana, apalagi kalau mengalami
proses persalinan yang rumit. Akan tetapi, tak banyak yang memerhatikan
berbagai faktor yang dapat membuat perempuan mengalami gangguan
kejiwaan atau depresi pascamelahirkan. Beberapa di antaranya bahkan dapat
berakibat fatal. Rasa bahagia ketika mendapatkan bayi bukanlah jaminan
semuanya akan baik-baik saja.

Melati sempat sekali keguguran sebelum mendapatkan Aruni. Namun rasa
bersalah terus menghantuinya. "Saya berada pada situasi bimbang menerima
kehadirannya karena saya baru berada dalam masa percobaan di kantor."
Rasa bersalah itu belum hilang ketika Melati hamil lagi. Sepanjang
kehamilannya, kondisi psikologisnya tidak benar-benar baik. Ketika Aruni
lahir dengan sedikit gangguan pada kulitnya—setelah beberapa bulan,
kulit Aruni kembali mulus— Melati merasa tidak menjaga kandungannya
dengan baik.

Perasaan bersalah itu seperti memperoleh penegasan dari orangtua,
dengan komentar-komentar yang sebenarnya ia pahami sebagai bukan
kesengajaan. Perasaannya semakin tak keruan ketika harus berjuang keras agar
ASI-nya keluar. "Aruni nangis terus. Orangtua saya menganjurkan agar ia
dikasih susu formula. Tapi saya hanya mau ASI eksklusif," ujar Melati.
"Saya sempat bilang ke anak saya, ’Kok kamu enggak mau ngerti sih.’"

Rasa sakit yang luar biasa pada proses kelahiran bisa menjadi salah
satu faktor pencetus. Seperti Sally yang mengalami proses panjang dan
rumit (sempat diinduksi beberapa kali, ketubannya pecah sementara rahimnya
belum mengalami proses pembukaan, tekanan darahnya naik) sebelum dokter
yang menanganinya memutuskan agar ia dioperasi cesar.

Perjuangan berat saat melahirkan membawa dampak psikologis yang cukup
berat bagi Sally. Setelah melahirkan, Sally harus istirahat total satu
minggu. Dalam keadaan sakit, ia masih harus berjuang lagi untuk menyusui
anaknya. Namun ia merasa sangat beruntung karena ada ibu yang terus
mendampinginya. Dengan bantuan sang ibu, Sally berlatih menyusui anaknya.

Rasa sakit setelah melahirkan membuat mentalnya semakin terpuruk. Sally
yang merasa tidak berdaya sering menangis sendirian di depan anaknya.
Tangisnya menjadi-jadi saat menatap wajah anaknya yang sedang tidur.
Meski demikian, ia tidak mampu melukiskan perasaan apa yang sebenarnya
berkecamuk di hatinya. Juga muncul perasaan ia tak mampu menjadi ibu yang
baik bagi Sheila (5 tahun). Sally menganggap yang ideal adalah ibu yang
bisa mengurus dan merawat anaknya secara mandiri setelah melahirkan.
"Ternyata gue enggak bisa ngapa-ngapain," ujarnya.

Perasaan itu mereda seiring dengan hilangnya rasa sakit akibat operasi
secara berangsur-angsur. Ia menjadi lebih percaya diri karena sudah
bisa merawat sendiri anaknya. Ketika melahirkan anak keduanya, Danar (10
bulan), Sally merasa lebih tenang. Padahal proses kelahiran Danar juga
rumit. Sally harus kembali dioperasi. Danar juga lebih rewel. Namun
perasaan negatif yang pekat setelah kelahiran Sheila tidak muncul lagi.

Ririe yang paham bahwa ia terserang depresi pascamelahirkan mencoba
melepaskan keruwetan pikirannya dengan membuka diri untuk percaya kepada
orang lain dan menyadari bahwa ia perlu bantuan. Ia tidak lagi memaksa
tata cara yang ia bakukan dalam pola perawatan anaknya kecuali untuk
urusan psikologis. Ririe juga memaparkan perasaannya kepada suaminya.
Tanpa diduga, suaminya memberikan dukungan penuh dan membantu dengan
sungguh-sungguh agar istrinya bisa lebih santai.

Karena Rheesa sudah dapat beradaptasi dengan pengasuhnya, Ririe juga
bisa mengambil kembali ruang privasinya. Setelah kembali bekerja, ia
menyempatkan diri berenang dan tenis. Dia percaya, olahraga akan
menghilangkan emosi negatif dan kembali memunculkan rasa percaya diri. Situasi
itu sangat berbeda dengan Melati. Sebagai intelektual, Melati juga tahu
ia mengalami depresi pascamelahirkan yang banyak disebut sebagai baby
blues.

Namun ia tidak membagikan penderitaan itu pada siapa pun; tidak pada
orangtuanya, tidak pada suaminya. "Takut dianggap yang enggak-enggak,"
ujarnya singkat. Ia juga belum pernah menghubungi psikolog untuk
berkonsultasi. "Saya berusaha menjauhkan diri dari faktor pencetus," sambung
Melati mengenai upayanya meringankan beban perasaannya. Faktor pencetus
itu antara lain berada di ketinggian dan benda-benda tajam.

Sayangnya, Melati tak bisa sungguh-sungguh melepaskan bebannya. Ia
jarang bisa benar-benar bersantai. Malah membiarkan dirinya larut dalam
pekerjaan, membuatnya mengalami depresi yang lain.

Jangan Abaikan Gejalanya
Proses kehamilan dan melahirkan dari pandangan psikologi kedokteran
merupakan peristiwa yang paling rumit dalam pengalaman manusia. Begitu
ditegaskan ahli perkembangan anak dan pengamat psikologi perempuan, Dr
Irwanto. "Itu merupakan pengalaman khas perempuan," tegas Kepala Lembaga
Penelitian Atmajaya Jakarta itu.

Seusai melahirkan, perempuan rentan terserang seluruh spektrum gangguan
kejiwaan umum akibat perubahan fisik dan psikologis dari proses
melahirkan. Faktor endokrin diduga berperan dalam etiologi depresi
pascamelahirkan. Dalam kurun 1 sampai 42 hari setelah melahirkan, terjadi
perubahan hormon estrogen dan progesteron yang sangat berarti.

"Menurut penelitian, inilah yang menyebabkan terjadinya perasaan yang
berubah-ubah secara ekstrem (mood swings) pada perempuan," ujarnya.
Situasi itu pada orang-orang yang pernah mengalami insiden depresi dapat
berlanjut menjadi depresi dan lebih jauh, psikosis. Gejala depresi yang
paling umum pascamelahirkan adalah perasaan kosong yang luar biasa
(emptiness), diikuti dengan perasaan lainnya seperti kehilangan nafsu makan,
raibnya kesenangan dalam hidup, energi dan motivasi, perasaan tidak
berguna, tidak berharga, banyak menangis, tanpa harapan dan rasa bersalah
yang keterlaluan, dan ketakutan yang luar biasa bayinya akan tersakiti
atau disakiti orang lain.

Dari data penelitian, gejala itu terjadi pada 15-20 persen persalinan.
"Kalau sampai ke psikosis sangat berbahaya karena ditambah halusinasi.
Ada dorongan dan suara-suara yang tidak bisa dikendalikan sehingga ibu
dapat melakukan sesuatu yang membahayakan bayinya," ujarnya. Data
penelitian menunjukkan hal ini terjadi pada 1,5 sampai 3 persen persalinan.

Bisa lama
Meski pada banyak perempuan gejala-gejala itu terjadi dalam waktu yang
relatif singkat, pada beberapa lainnya depresi itu bisa berlangsung
sampai lebih dari satu tahun setelah melahirkan. Kondisi psikologis yang
disebut sebagai the maternity blues, the baby blues, depresi
pascakelahiran dan psikosis pascakelahiran, menurut Irwanto, dapat disembuhkan
begitu diketahui gejalanya. Caranya antara lain dengan menceritakan apa
yang dialami kepada orang-orang terdekat, juga kepada dokter, untuk
konsultasi yang dibutuhkan.

"Sulitnya, banyak perempuan tidak mudah berbicara pada orang lain
mengenai apa yang ia rasakan. Karena tidak dianggap serius, biasanya
didiamkan saja," ujar Irwanto. Berbagi pekerjaan dalam perawatan anak, menulis
buku harian, dan mencari kelompok pendukung adalah hal lain yang bisa
dilakukan. Hal lainnya adalah jangan terjebak pada perasaan "baik-baik"
saja, karena kelahiran seorang bayi memang membawa perubahan. Menjadi
orangtua juga bukan hal yang mudah.

Upayakan untuk tidak marah pada diri sendiri ketika belum mampu merawat
bayi dengan baik. Jangan terlintas untuk menjadi "supermom", dan jujur
tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan sendiri.

Banyak pemicu yang menyebabkan terjadinya depresi pascamelahirkan. Di
antaranya, depresi sebelum melahirkan, depresi yang tidak terkait dengan
kehamilan, sindroma premenstruasi yang berat, perkawinan yang sulit,
tak banyak anggota keluarga yang bisa diajak bicara, dan kehidupan penuh
tekanan selama masa kehamilan dan melahirkan.

No comments: