Istilah kecerdasan emosional pada
mulanya dilontarkan oleh dua ahli psikologi, Peter Salovey, dari Universitas
Harvard, dan John Mayer, dari Universitas New Hampshire. Istilah ini kemudian
dipopulerkan oleh Daniel Goleman, penulis buku laris Emotional Intelligence:
"Why it can matter more than IQ" (1995)
Salovey dan Mayer menggunakan
istilah kecerdasan emosional untuk menggambarkan sejumlah ketrampilan yang
berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang
lain, serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan
meraih tujuan hidup.
Dalam menjabarkan arti kecerdasan
emosional, Salovey dan Mayer menggunakan pengertian "kecerdasan
pribadi" yang dikemukan oleh ahli psikologi Howard Gardner sebagai
definisi dasar, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi,
serta cara bekerja dan cara bekerjasama dengan mereka. Juga, kemampuan untuk
membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan
hasrat orang lain.
Definisi dasar ini kemudian diperluas
oleh Salovey dan Mayer dalam lima wilayah utama, yakni:
- Kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri.
- Kemampuan untuk mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat.
- Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.
- Kemampuan untuk mengenali orang lain.
- Kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain
Mengenai penggunaan istilah EQ
sebagai sinonim bagi kecerdasan emosional, Salovey dan Mayer menyatakan
keberatan mereka. Karena khawatir bahwa orang akan salah mengerti dengan
berpikir bahwa ada tes akurat untuk mengukur EQ atau bahwa EQ adalah suatu
ukuran.
Tapi kenyataannya, walau tidak
pernah bisa diukur, EQ tetap adalah konsep yang bermakna. Karena meski kita
tidak bisa mengukur kepribadian dan perilaku sosial, seperti kebaikan, rasa percaya
diri, atau respek terhadap orang lain, kita dapat mengenalinya pada anak-anak
dan sependapat betapa pentingnya hal ini.
No comments:
Post a Comment