Tuesday, 16 October 2007

Dampak Psikologis Anak yang Dibesarkan Tanpa Figur Ayah

Idealnya, seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu. Tetapi kadangkala keadaan "memaksa" seorang ibu membesarkan anak seorang diri. Meski si ibu sudah merawat dan memperhatikan si anak, tapi tetap saja ada dampak psikologis yang akan dialami oleh anak yang dibesarkan tanpa figur ayah, apa saja kah itu ?

Menurut Lifina Dewi, M.PSi, psikolog dari Universitas Indonesia, dampak psikologis yang dihadapi anak dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kepribadian dan gender si anak, serta bagaimana penghayatan si ibu terhadap peran yang dijalaninya.

"Pada anak-anak yang memiliki sifat tegar atau cuek mungkin dampaknya tidak terlalu terlihat tapi untuk anak yang sensitif pasti akan terjadi perubahan perilaku, misalnya jadi pemurung atau suka menangis diam-diam, hal ini biasanya terjadi pada anak yang orangtuanya bercerai," ujarnya.

Seorang anak laki-laki membutuhkan figur ayah untuk mempelajari hal-hal yang tidak dia dapatkan dari ibunya, begitu pun dengan anak perempuan, ada sesuatu yang dia butuhkan dari kehadiran figur ayah, misalnya bagaimana relasi interpersonal pria dan wanita.

"Setelah remaja atau dewasa, anak-anak ini mungkin saja tumbuh menjadi anak yang permisif, tertutup, pemalu atau justru agresif sekali pada lawan jenis," jelas Lifina. Untuk itu ia menyarankan agar si ibu memperkenalkan dan membiarkan si anak meluangkan waktu bersama pria yang riil, seperti kakek, paman atau teman-teman ibunya sehingga si anak tidak sepenuhnya kehilangan figur ayah.

Penghayatan si ibu
Kesiapan si ibu dalam menjalani perannya sebagai orangtua tunggal juga akan mempengaruhi bagaimana dia bersikap terhadap anaknya. Para ibu yang tidak siap dengan keadaan dan merasa terpaksa menjalaninya akan cenderung menyalahkan kehadiran si anak.

Belum lagi jika si ibu memiliki sifat pencemas dan mudah panik, hal ini tentu saja berpengaruh pada si anak, terlebih anak- anak masih memiliki keterbatasan kemampuan dalam berkomunikasi dan mengekspresikan perasaannya. Di sinilah diperlukan komunikasi terbuka dan kepekaan dari si ibu untuk menggali perasaan si anak dan mencari tahu apa kebutuhan anaknya.

Menjadi orangtua tunggal berarti harus siap menjadi tulang punggung keluarga, tak jarang karena ingin memenuhi kebutuhan finansial, seorang ibu bekerja terlalu keras sehingga tidak punya waktu lagi untuk anak-anaknya.

Jika si anak terlalu akrab dengan pengasuhnya dan menolak Anda peluk atau gendong, mungkin sudah saatnya Anda mengevaluasi kembali prioritas waktu yang Anda jalani selama ini. Memang diperlukan energi dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk memastikan karir, kehidupan pribadi sekaligus kedekatan dengan anak tetap lancar. Tetapi bukankah anak adalah segalanya bagi seorang ibu ?

Tak perlu berbohong
Perlahan tapi pasti, Anda akan sampai pada satu titik di mana si anak akan mempertanyakan di mana ayahnya. Bagi ibu yang bercerai atau menjanda karena suaminya meninggal, tentu tidak akan terlalu sulit menjelaskan. Tetapi si ibu yang memang memilih tidak menikah tentu menghadapi dilema ketika harus menjelaskan pada si anak siapa ayah mereka sesungguhnya.

"Untuk menjawab pertanyaan si anak tentang asal-usulnya, sebaiknya si ibu menyesuaikan dengan usia si anak untuk mencerna," ungkap Lifina. Jika si anak masih balita, carilah media yang ia mengerti untuk masuk ke topik, misalnya saat menonton film animasi katakan, "Barnie dan Spongebob juga tidak punya ayah. Kamu tidak punya ayah, tapi punya mama, kakek, nenek serta om dan tante yang sayang sekali sama kamu."

Tak sedikit para single mom yang memilih melakukan white lie kepada anaknya dengan dalih akan menjelaskan secara jujur jika kelak si anak sudah dewasa. Namun, Lifina menyarankan agar si ibu berkata terus terang kepada anak. Akan lebih baik jika si anak mendengar langsung dari ibunya daripada mendengar bisik-bisik di lingkungannya.

Pihak sekolah juga bisa membantu memberi pemahaman kepada anak-anak bahwa yang dimaksud dengan keluarga tidak selalu terdiri dari ayah dan ibu. Lebih baik lagi jika anak bersekolah di sekolah yang heterogen sehingga ia makin terbiasa dengan perbedaan.

Seorang anak yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu tetapi sang ibu secara konsisten merawat si anak dengan penuh kasih sayang dan tidak menelantarkannya kondisinya jauh lebih baik dibandingkan seorang anak yang besar dalam keluarga yang lengkap tetapi orangtuanya bertengkar setiap hari.

Penulis : Anna
Laporan Wartawan KCM Lusia Kus Ana

5 comments:

Anonymous said...

aku setuju sekali dengan saran mba lifina, karena aku juga sebagai anak yang tidak memiliki figur ayah, walaupun baru merasa kehilangannya 3 tahun terakhir ini. Tapi dampak perceraian kedua orang tuaku jelas terlihat berpengaruh pada adikku yang berumur 10 tahun. Apalagi adikku sangat dekat sekali dengan ayahnya, dan dengan adanya perceraian pola prilakunya suka marah-marah, tiba2 menangis. Pendekatan yang dilakukan Ibuku kurang dilakukan dengan baik. Mungkin karena kondisi ibuku yang masih belum bisa menerima perceraian. Bisa dibilang ibuku mengalami shock situation. Namun dengan aku membaca artikel tadi, cukup banyak membuatku tergerak untuk bisa menstabilkan keadaan kembali.

Anonymous said...

ortu saya jg sudah lama bercerai... sekitar 5 tahun. skrg mereka sudah mempunyai keluarga 'baru'...
tp, dampak dari perceraian itu masih membekas sampai skrg. saya mempunyai banyak masalah dengan diri saya. dan saya bingung harus mulai memperbaiki diri saya dari mana??

Anonymous said...

saya pernah baca novel judulnya Eye of The Beholder, disitu diceritakan bagaimana seorang ayah terobsesi oleh kenangan anaknya. usut punya usut dia begitu karena perceraian dengan istrinya, dan anaknya skrg entah dimana. Btw ada teori nggak yg menjelaskan bagaimana pengaruh perceraian thd kondisi psikologis orang tua, khususnya kepribadiannya...

trims, salam kenal, v3
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/

Anonymous said...

artikel yang baik.. sejujurnya saat ini saya sendiri sedang menghadapi masalah yang pelik dan membingungkan.. hubungan saya dan suami sangat tidak baik, kami sangat sering bertengkar bahkan saat ini suami sudah beberapa kali melakukan kekerasan (baik menampar maupun merusak rumah) di depan anak saya yang masih bayi... saya merasa semakin haru hubungan kami bukannya tambah baik malahan tambah hancur.. saya bisa menerima mungkin nasib saya mempunyai suami sepertinya.. namun saya sangat mengkhawatirkan perkembangan psikologis anak saya itu.. saya sadar bahwa bercerai pasti akan memberikan dampak psikologis yang kurang baik bagi anak saya, tapi mungkinkah itu lebih baik dari pada anak saya harus terus melihat kami bertengkar apalagi dengan kekerasan yang sering suami lakukan pada saya ?

Anonymous said...

[url=http://trueviagrahere.com/#utzwz]cheap viagra[/url] - viagra 150 mg , http://trueviagrahere.com/#bczdq viagra 25 mg