Tuesday, 13 November 2007

Gangguan Jiwa Afektif Tertinggi di Indonesia

Ada beberapa jenis gangguan jiwa, tetapi kasus yang banyak menimpa masyarakat di Indonesia adalah gangguan jiwa afektif. Tipe gangguan jiwa tersebut ditandai dengan adanya gangguan emosi (afektif) yang memengaruhi perilaku penderitanya.

Menurut ahli penyakit jiwa dr Surya Widya, dari RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Grogol, Jakarta Barat, terdapat dua jenis gangguan jiwa afektif, yakni gangguan depresif dan manik.

"Hanya dengan memerhatikan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat keluarga, kedua jenis gangguan jiwa itu dapat dibedakan dengan jelas," ungkap dr Surya Widya kepada Media Indonesia sebelum menyampaikan makalahnya pada simposium Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Terapi Gangguan Jiwa dalam Praktik Umum, di Jakarta Sabtu (27/10).

Gejala pokok pada depresi, lanjutnya, antara lain muncul perasaan sedih dan kehilangan gairah terhadap segala sesuatu. Penderitanya biasanya terlihat murung, sukar tidur, tidak ada harapan, merasa terbuang, tidak berharga dan sering merasa tersakiti perasaannya hingga sampai tidak mampu lagi untuk menangis.

"Sebaliknya pada gangguan manik, pasien menunjukkan keadaan gembira yang tinggi, cenderung berlebihan sehingga mendorong pasien berbuat sesuatu yang melampaui batas kemampuannya, pembicaraan menjadi tidak sopan dan membuat orang lain menjadi tidak enak," jelas dr Widya Pasien manik yang tidak dirawat, tambahnya, sering kali meminum alkohol secara berlebihan, berjudi secara patologik, mengenakan perhiasan rias wajah dan perhiasan secara mencolok, hingga membuka baju di tempat umum. Pasien suka terlibat secara berlebihan dalam masalah keagamaan, politik, keuangan hingga melakukan adegan seksual secara bebas. Terkadang mereka juga menjadi regresi, seperti bermain dengan urine dan kotorannya sendiri.

Penyebab

Pada simposium yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Indonesia (UKI), Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida), Universitas Pelita Harapan (UPH), dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Barat itu, dr Widya juga menjelaskan faktor-faktor penyebab depresi.

Menurutnya, depresi bisa karena kehilangan atau kematian pasangan hidup atau seseorang yang sangat dekat, menderita penyakit fisik berat (lama mengalami penderitaan).

"Gangguan ini paling banyak dijumpai pada usia 40-50 tahun dan kondisinya makin buruk pada lanjut usia (lansia). Pada usia pertengahan persentase perempuan lebih banyak dari laki-laki, tetapi di atas umur 60 tahun keadaan menjadi seimbang."

Pada perempuan, katanya, mungkin ada kaitannya dengan masa menopause. Bahkan hampir 2/3 pasien depresi memikirkan untuk bunuh diri meski hanya 10%-15% yang melakukan percobaan bunuh diri.

Di tempat yang sama Presiden IDI dr Fachmi Idris mengatakan, di Indonesia berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan (Depkes) 2001, terdapat 104 penderita per 1.000 penduduk untuk rentang usia di bawah 15 tahun. Sedangkan pada usia di atas 15 tahun terdapat 140 penderita per 1.000 penduduk.

"Para penderita gangguan jiwa di negara kita masih menjadi golongan yang tersisih. Kondisi ini disebabkan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah, adanya stigma negatif terhadap para penderita, ketertutupan pihak keluarga terdekat akibat perasaan malu memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa hingga fasilitas pengobatan dan rehabilitasi yang masih kurang. Ini yang harus kita perbaiki," jelasnya.

Perawatan psikososial

Untuk itu, dr Widya menambahkan perlu dilakukan perawatan intensif dengan pendekatan kekeluargaan (psikososial). Terapi jenis itu, lanjutnya, menekankan peran aktif anggota keluarga dan lingkungan sekitar dalam interaksi dengan pasien.

Namun untuk mencapai kondisi ini, pasien harus terlebih dulu menjalani terapi lain, seperti pemberian obat yang teratur hingga terapi kejang listrik (ECT).

Dokter Widya meminta agar tidak membiarkan pasien berada sendirian atau diganggu oleh ejekan lingkungannya. Pasien sebaiknya dilibatkan dalam pembicaraan yang menarik minatnya, atau berikan keleluasaan untuk menyalurkan bakat dan hobinya.

"Hal terpenting adalah jangan biarkan faktor penyebab stres menimpa mereka. Kita harus memasukkan perawatan dan rehabilitasi penyakit jiwa ini ke dalam program prioritas kesehatan masyarakat. Harus juga diupayakan supaya program jaminan sosial kesehatan masyarakat miskin (askeskin) mencakup pelayanan untuk para penderita gangguan jiwa. Hal ini harus kita lakukan sebagai bagian dari upaya mencapai derajat kesehatan komprehensif secara fisil, mental, dan sosial," tambah Fachmi.

No comments: